Untuk kamu yang ingin mulai menjadi wirausahawati, langkah pertama itu tentunya adalah menemukan ide bisnis yang berpotensi menjadi game changer, atau yang biasa saya sebut sebagai inovasi. Sayangnya, di bagian ini saja banyak yang merasa buntu, tidak menemukan ide tersebut, lalu berakhir dengan berhenti mencari.
Saya sering mendapat pertanyaan serupa. Banyak orang yang menemukan sebuah ide usaha, namun ketika melakukan “riset” di mesin pencari, ternyata sudah ada yang memiliki ide tersebut. Mereka berfikir, “Yah, kalau sudah ada, ‘ngapain dong saya harus membuat usaha dari ide yang sama?”. Yang tidak mereka ketahui, bahwa sebenarnya sebuah ide pada akhirnya tidak ada artinya jika tidak dieksekusi. Hal ini yang sering saya bahas berulang-ulang, salah satunya di Quora.
Saya sendiri percaya bahwa tidak ada ide yang benar-benar sama persis. Memilih ide mana yang layak dijalankan adalah keputusan terpenting yang harus kamu buat sebagai seorang (calon) wirausahawati. Ketika kamu sudah menentukan ide, barulah kamu bisa mencari co-founder yang sesuai. Kalau belum punya ide usaha dan hanya berpatokan pada keinginan yang penting punya usaha, kamu sendiri yang akan kesulitan.
Ide disini tidak harus well-shaped atau bentuknya jelas, ya. Saya akan membahas dua hal penting terkait penentuan ide di artikel ini. Saya membuat daftar kriteria hal-hal yang menjadikan ide sebuah usaha itu disebut baik atau keren. Lalu, saya akan menjelaskan beberapa cara yang bisa kamu gunakan untuk memenuhi kriteria tersebut.
4 Pedoman dalam Memilih Ide Bisnis
Manfaat #1: Membuat Hal yang Sulit Jadi Lebih Mudah
Sebagai contoh, Go-Jek membuat hidup banyak orang menjadi lebih mudah dengan layanan-layanan on-demand nya. Ibu-ibu yang sibuk mengurus rumah atau bekerja remote dan tidak bisa menjemput anaknya di sekolah bisa memesan Go-Ride. Ketika ia tidak punya waktu lagi untuk memasak, ia bisa memesan makanan dengan Go-Food. Saat ia sudah lelah bekerja sepanjang minggu dan ingin relaksasi tanpa pergi dari rumah, ia bisa memesan Go-Massage. Sebelumnya, ketiga aktivitas diatas memang bisa dilakukan sendiri. Namun, banyak waktu dan tenaga yang terbuang percuma karenanya.
Jenius, sebuah produk perbankan yang melabeli diri bankless banking
pun sudah banyak membantu nasabah-nasabahnya menjalankan aktivitas kehidupannya dan keuangannya tanpa harus datang ke bank lagi. Transfer uang, menabung untuk berbagai kebutuhan, membagi tagihan setelah nongkrong dengan teman-teman menjadi begitu mudah. Saya sebagai salah satu nasabahnya pun merasakan kemudahan yang luar biasa. Sudah lebih dari 2 tahun saya tak pernah berkunjung ke bank. Bahkan ketika membuat rekening Jenius pun, saya hanya perlu kirim foto KTP saja. Dan sekarang kemudahan urusan keuangan seperti ini tidak hanya di perbankan saja, tetapi sudah merambah hingga ke koperasi-koperasi di berbagai pelosok negeri, dengan hadirnya platform Sakti.Link yang menghubungkan berbagai koperasi di Indonesia. Kegiatan berkoperasi saya pun makin mudah karenanya!
Manfaat #2: Membuat Barang yang Mahal Jadi Lebih Murah
Salah satu klien saya di Chloè & Matt membeli program (kini lazim disebut aplikasi) pembukuan / accounting. Aplikasi ini dibelinya dengan harga Rp 60 juta, beli putus alias tidak ada pembaruan dan penambahan fitur. Ia juga tidak bisa dihubungkan ke aplikasi CRM (customer relationship management) ataupun OMS (order management system) yang kami kembangkan sesuai permintaan mereka. Untuk klien yang memiliki uang, tentunya tidak akan terlalu bermasalah. Namun, sebagai startup founder dengan dana minim, tentunya akan jadi hambatan dalam menjalankan usaha.
Untuk itulah aplikasi seperti Jurnal ataupun Wave hadir. Dengan biaya yang kurang dari Rp 500 ribu per bulan, pelanggan sudah bisa menggunakan berbagai fitur lengkap yang mereka sediakan. Setiap periode pun akan ada penambahan fitur, tanpa dikenakan biaya tambahan. Paket yang tersedia pun bisa kamu sesuaikan dengan kebutuhan. Dengan begitu, modal usahamu yang terbatas bisa dialokasikan untuk pos-pos yang lain yang lebih bermanfaat.
Manfaat #3: Membuat Barang yang Menghibur atau Memberi Referensi
Musik, permainan, video, dan perusahaan media masuk ke ranah ini. Ada begitu banyak produk yang mungkin sudah kamu konsumsi sehari-hari. Misalnya saja Netflix, Hooq, Spotify, Candy Crush, dan lainnya.
2. Pilih suatu hal yang jadi masalah bersama, dan berpotensi menghasilkan uang
Besaran pasar yang dituju tidak selalu menjadi indikator yang baik untuk potensi kesuksesan usahamu. Pertanyaan yang lebih baik yang bisa kamu jawab adalah seberapa jauh hal yang kamu buat dapat bermanfaat untuk pelangganmu, sehingga membuat mereka senang?
Kalau kamu berhasil membuat 50 pelanggan betul-betul senang dengan manfaat yang mereka dapatkan dari produk yang kamu buat, itu akan lebih baik daripada kamu bisa membuat produk yang memenuhi kebutuhan pelanggan. Karena, jika pelanggan yang benar-benar senang akan dengan senang hati mereferensikan produk/layananmu ke teman-teman mereka. Sedangkan kalau kamu hanya memenuhi kebutuhan pelanggan, mereka belum tentu akan mereferensikan usahamu—dan banyak juga yang merasa kalau itu adalah sesuatu yang harus kamu berikan padanya karena ia sudah membayar.
3. Ide komersil sangatlah jauh bedanya dengan ide sosial
Aplikasi sosial (seperti LinkedIn, Twitter, Instagram, dan lainnya) memiliki arah yang berbeda dengan e-commerce. Perusahaan-perusahaan ini memiliki basis pengguna yang bermanfaat karena engagement yang mereka ciptakan. Produk yang perusahaan-perusahaan ini jual adalah data hasil dari engagement tersebut. Dijual kemana? Tentunya ke pengiklan—yang belum tentu adalah pengguna harian dari aplikasi-aplikasi tersebut.
Foursquare menjual datanya ke pengusaha-pengusaha lokal. Facebook menjual datanya ke berbagai perusahaan lain yang ingin membuat iklan. Metrik utama dari perusahaan-perusahaan ini adalah pertumbuhan pengguna (user growth), seberapa viral konten-konten yang ada, dan juga engagement—atau seberapa terikat kamu dengan konten yang dibuat oleh rekanmu.
Ada dampak yang besar pada cara yang kamu gunakan untuk mendapatkan pengguna, tergantung dari mana yang kamu pilih—sosial atau komersil. Aplikasi sosial biasanya mengandalkan kekuatan dari mulut ke mulut, dan juga viralitas. Di sisi lainnya, usaha komersil atau perdagangan memiliki nilai LTV (lifetime values) pelanggan yang lebih konkret, dan dapat “membeli” pelanggan serta lalu-lintas (traffic) di platformnya dengan iklan.
4. Pilih hal yang membuatmu berempati pada pelangganmu
Idealnya, kamu mengembangkan sebuah ide dari permasalahan yang kamu hadapi sendiri. Atau bisa juga dari pengamatanmu terhadap lingkungan sekitar, dimana kamu mendapatkan pola dari masalah yang muncul berulang-ulang. Namun, banyak juga pewirausaha yang dapat menciptakan sesuatu yang sebetulnya tidak benar-benar mereka butuhkan—hanya karena ada demand-nya. Hal ini tentunya membutuhkan kemampuan untuk mendapatkan dan bertindak berdasarkan umpan balik dari pengguna.
Sebagai contoh, saya dan co-founder saya di Tanibox mengembangkan aplikasi manajemen dan monitoring untuk pertanian. Kami bukanlah sekelompok petani yang sehari-hari bergelut dengan masalah yang akhirnya kami carikan solusinya. Kami berangkat dari kebutuhan manajemen pertanian di lahan kecil, dimana kami menanam beberapa sayuran dan buah sendiri, dan ternyata hal yang kami buat menarik minat orang lain untuk digunakan di lahan pertanian yang skalanya lebih besar. Cara kami berfikir, menganalisa dan mengambil keputusan haruslah meniru cara berfikir seorang petani. Tentunya, kami juga dibantu dengan rekan-rekan yang memang petani-petani tulen.
Pilih Ide Bisnis yang Sesuai Untukmu
1. Buat jurnal seputar produk/layanan kurang tepat guna yang kamu pakai sehari-hari
Banyak hal kurang / tidak nyaman dalam hidup kita, hingga membuat kita sering mengeluh dan komplain. Misalnya saja: kursi bioskop sering penuh di hari pemutaran perdana, pakan kucing yang berkebutuhan khusus, tempat kursus bahasa atau musik yang punya fasilitas tertentu, dan seterusnya.
Dengan membuat jurnal berisi “protes” yang tidak bisa dilayangkan ke siapa-siapa seperti ini, dapat membantu kamu untuk menciptakan ide bisnis. Dari masalah-masalah itu, kamu bisa membuat daftar potensi solusi yang bisa dikembangkan, dan mencari tahu apakah ada pasar yang mau menampungnya (baca: orang yang membeli produk/layanan tersebut).
2. Jika bekerja di perusahaan lain, pikirkan masalah terbesar yang kamu hadapi di pekerjaan itu
Mailchimp adalah perusahaan otomasi pemasaran yang fokus pada layanan email. Pendirinya mengembangkan layanan email sewaktu masih menjalankan bisnis lain yaitu marketing agency. Saat itu, ia hanya membuat layanan email sesuai dengan kebutuhan klien-kliennya. Ia memiliki banyak klien, namun saat itu layanan email yang tersedia harganya tidak sesuai budget. Saat perusahaan milik si pendiri Mailchimp mulai goyah, ia berfikir untuk pivot. Beberapa tahun kemudian, saat persaingan marketing agency sudah terlalu besar, ia memutuskan untuk mengembangkan layanan email yang pernah ia buat untuk klien-kliennya menjadi perusahaan SaaS (software-as-a-service). Dan kini, Mailchimp adalah salah satu nama besar dalam layanan email, dengan paket harga yang bisa disesuaikan untuk beragam kelas usaha.
3. Lihat kembali ke pengeluaran bulananmu, baik bisnis maupun pribadi
Kalau kamu memiliki beragam pengeluaran, lihat ke masing-masing item yang tertera di laporan pengeluaranmu. Atau, buat daftar produk/layanan berlangganan bulanan yang sudah kamu gunakan. Apakah produk/layanan tersebut sudah sesuai dengan value yang kamu dapat? Adakah cara untuk membuatnya semakin murah? Atau, produk/layanan tersebut ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh pembuatnya, namun tidak ada pesaing yang menawarkan harga lebih murah atau harga sama dengan value lebih tinggi?
Daftar pengeluaran seperti ini adalah cara terbaik yang menurut saya bisa kamu lakukan. Karena dari situ kamu mulai bisa meriset apakah ada pasar yang mau menampungnya, seberapa besar pasar tersebut, dan apakah untuk mengembangkannya butuh biaya yang besar? Jika memang ada pasar yang cukup besar yang mampu untuk menampung, maka ide tersebut layak dijalankan.
Epilog
Mengingat bahwa sekalipun seorang investor yang berpengalaman dapat kehilangan momen untuk berinvestasi pada ide-ide usaha yang luar biasa dan berpotensi meraih kesuksesan yang besar, cara terbaik yang bisa kamu lakukan untuk tahu apakah sebuah ide bisa sukses adalah dengan menjalankannya dan perhatikan apa yang kemudian kamu dapatkan.
Ideas are bloody cheap. It’s everywhere.
Kamu tidak perlu khawatir kehabisan ide. Bahkan setiap kali saya hadir dalam berbagai kesempatan workshop membangun startup, selalu ada ide-ide baru yang membuat saya berfikir, “Oh, ide seperti itu ternyata ada yang kepikiran, ya?”
Tapi sebelum mendedikasikan dirimu untuk sebuah ide startup, ada baiknya kamu mengambil waktu untuk brainstorming dengan orang-orang yang menurutmu tepat dalam 1-2 bulan. Setelah itu, jalankan riset pasar sederhana saja—untuk membantumu supaya lebih familier dengan pasar yang kamu tuju, masalah yang ingin disolusikan, dan juga model bisnis yang bisa dibuat. Setelah itu, barulah kamu bisa memutuskan komitmen seperti apa yang harus kamu buat. Karena ini akan mempengaruhi hidupmu kedepannya.
Give a Nice Comment Here