Ketahanan mental menjadi salah satu atribut pribadi yang paling dicari oleh seorang pemimpin. Pada dasarnya, ketahanan mental adalah tentang bagaimana kita dapat menghadapi tantangan secara langsung dan bangkit dari keterpurukan. Dan ini adalah bagian penting untuk meraih kesuksesan—karena kesuksesan nyata sulit untuk didapatkan.
Aku sendiri baru sekarang bisa belajar menerima “kegagalan” (failure). Walaupun sebenarnya, ketika dihadapkan pada kegagalan itu, rasanya seperti makan buah mengkudu dan minum jamu brotowali setiap hari selama berbulan-bulan.
Pahit, tentunya.
Tapi ini bukan pertama kali. Dan semakin sering terjadi, aku merasa ada kekuatan baru yang tumbuh dalam diri aku, yang tidak kumiliki sebelumnya. Lalu, bagaimana akhirnya—setelah berkali-kali mengalami keterpurukan—aku bisa tetap berjalan maju dan tidak menyerah begitu saja?
1. Sepandai dan sebaik apapun aku pada hal-hal yang kulakukan, tetap ada saja orang yang tidak menganggapku
Aku belajar tentang bagaimana menjadi seorang yang stoic. Aku tidak akan mencoba mengontrol dan tidak bisa mengandalkan hal-hal yang ada diluar diriku. Yang bisa dan akan kukontrol adalah diriku dan respon seperti apa yang harus dikeluarkan.
Aku belajar banyak, bagaimana kekecewaan terhadap orang lain berhasil mengonsumsi pikiranku, sehingga lebih banyak membawa keburukan daripada manfaat. Aku belajar mengontrol emosi, walaupun sesekali masih lepas juga. Aku berlatih untuk mengatur nafas dan menyeimbangkan pemikiran serta energiku untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat—sekalipun tidak bisa benar-benar menghilangkan rasa kecewa yang kurasakan.
2. Melakukan hal-hal baru yang tidak / belum dikuasai
Industri pengembangan diri tumbuh dengan sangat pesat, dan para pemainnya senantiasa mengajak kita untuk fokus pada hal-hal yang sudah cukup kita kuasai, dan mendelegasikan hal-hal yang menjadi kelemahan kita ke orang lain yang lebih mampu. Pada dasarnya, pendekatan ini memiliki banyak kelebihan. Kita seringnya bisa merasa lebih bahagia dan bisa menjalankan pekerjaan dengan lebih baik ketika kita fokus pada hal-hal yang sudah dikuasai.
Tapi ternyata, terus-terusan mengandalkan kekuatan kita pada hal yang sudah dikuasai tidak akan membantu kita dalam soal ketahanan mental. Mengapa? Ada sebuah ungkapan klisé yang berbunyi, “Kekuatanmu adalah (juga) kelemahanmu.” Misalnya saja, aku ini seorang yang cukup gigih. Namun sisi lain dari kata `gigih` itu adalah `keras kepala`.
Meskipun cenderung ada korelasi / hubungan antara apa yang kita suka lakukan dengan apa yang kita anggap sebagai kekuatan, sangat mungkin sekali untuk menguasai hal-hal yang tidak terlalu kita minati dan tidak menguasai hal-hal yang kita cintai.
Contohnya, aku dulu tidak suka dengan hal-hal yang berbau pemasaran. Tetapi karena menjalankan bisnis sendiri dengan modal sangat minim (baca: sering kehabisan uang di tengah bulan), membuatku “terpaksa” belajar pemasaran, supaya bisnisku menjadi lebih baik lagi.
Sekarang? Aku suka dengan kegiatan ini, dan malah menjadi kurang ahli lagi dalam bidang yang dulu aku suka (UX). Ini juga menunjukkan sisi manusiaku: secara naluriah, ingin belajar hal-hal baru.
3. (Berusaha untuk) tidak mendendam
Ini adalah hal yang sulit buat sebagian orang, termasuk buatku. Tapi, ketika kita mendendam, lantas siapa yang menang? Tentunya bukan kita.
Kalau kita terus-terusan terobsesi terhadap suatu kondisi dimana seseorang berbuat salah pada kita, maka kita akan terjebak sebagai korban sementara orang itu akan cuek saja dan dengan senang hati menjalani kehidupannya. Siapa yang rugi? Ya kita, tentunya. Dendam itu seperti pasir hisap yang memiliki daya tarik yang kuat dan bisa mengikat. Berhati-hatilah.
Dan seperti yang aku bilang di poin pertama, menjadi seorang stoic membantuku untuk (berusaha) tidak lagi mendendam. Dan ini juga membantuku untuk menjadi orang yang lebih baik dari kemarin.
4. Tidak perlu menjadikan semua hal yang terjadi sebagai hal-hal pribadi
Ketika mengalami penghinaan misalnya, baik secara langsung ataupun tidak, penghinaan ini kelihatannya dimaksudkan sebagai serangan pribadi, padahal belum tentu. Kenyataannya adalah, ketika seseorang menghina, mereka umumnya memikirkan apa yang terbaik untuk mereka dan tidak memberimu kesempatan untuk berpikir atau merespon.
Kalau kamu merasa diremehkan karenanya, coba lihat dari sudut pandang mereka. Apa yang terjadi dalam hidup mereka yang membuatnya bersikap begitu? Itu akan membantumu menilai apakah penghinaan pribadi itu adalah sesuatu yang mereka niatkan dan bagaimana kamu harus bereaksi.
5. Bersiap untuk hal terburuk, berharap untuk hak terbaik
Menjadi seorang yang optimis itu sulit. Di sisi lain optimis buta itu juga bukan hal yang baik. Bersikap positif dan memiliki pemikiran terbuka itu membantuku untuk menciptakan energi yang baik. Dan ketika energi yang baik ini menyebar, maka hal-hal baik jugalah yang aku terima.
Aku sudah sering bersikap skeptis dan pesimis, sehingga membawa energi yang kurang enak. Bahkan aku sendiri pun merasakannya. Energi negatif seperti itu bisa sangat menguasai, dan sulit untuk dihilangkan. Biasanya, aku akan menarik diri dari kegiatan bersosialisasi apapun, berdiam diri di rumah atau pergi kemana-mana sendirian, sampai merasa pulih.
Pernah ada suatu masa aku terserang gangguan kecemasan yang berlebihan. Kepala rasanya berat. Mata rasanya ingin menangis terus-terusan. Mulut ingin berteriak sekuat-kuatnya. Aku ingin berhenti dari apapun yang sedang kulakukan.
Berhenti dan tidur selamanya.
Tapi ketika ingat lagi alasan mengapa aku melakukan hal-hal yang aku lakukan—pekerjaan, bisnis, dan aktivitas berbagi—aku seperti mendapat energi baru.
Hidup itu seperti roda, kadang kita ada di atas, kadang juga di bawah. What goes up must comes down… Ketika gravitasi menarikmu kembali ke Bumi, selalu ingatlah alasan mengapa kamu melakukan hal-hal yang kamu lakukan. Ia akan membantumu menunjukkan jalan yang benar.
Dan sebagai pebisnis, di saat yang sama pun kita harus selalu bisa mengidentifikasi resiko-resiko yang bisa/akan kita hadapi. Itulah sebabnya, perencanaan dalam bisnis itu penting, kalau sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan, kita tahu rencana kita kedepannya bagaimana, dan apa yang harus kita lakukan selanjutnya.
Bagaimana kalau tidak punya rencana bisnis? Ah ya sudahlah, jadi pegawai saja, tidak usah berbisnis. Kamu tidak akan bisa memberi nilai lebih pada siapapun, baik dirimu sendiri maupun pelangganmu.
6. Beri selamat pada diri sendiri ketika meraih kesuksesan kecil, tapi jangan lupakan kegagalan yang berhasil dilewati (tapi tidak perlu terus-terusan dipikirkan, ya!)
Oke-oke saja kok memberi selamat pada diri sendiri ketika kita meraih kesuksesan kecil (asal tidak terus-terusan saja, ya). Tapi kita juga perlu berefleksi pada kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi sebelum kita meraih kesuksesan tersebut, sehingga kita bisa menggunakan pengalaman itu untuk belajar dan berjaga-jaga di masa depan.
Kalau refleksinya sudah selesai, segeralah move on, supaya tidak terjebak pada keraguan terhadap diri sendiri. Nggak ada gunanya, kan?
7. Ketika hal yang sangat berat terjadi, katakan pada diri sendiri, “Aku bisa melewatinya.”
Orang yang sedang mengalami kesulitan, biasanya sulit untuk berfikir jernih agar bisa keluar dari kesulitan itu. Tapi dengan berkata pada diri sendiri, “Aku pasti bisa melewati ini.” tanpa perlu memikirkan kesulitan tersebut sesaat, dan benar-benar fokus mengumpulkan energi positif dalam diri, pasti akan bisa dilewati.
Jika percaya pada Tuhan, yakin saja bahwa ada Tuhan yang bisa menolong.
Sesulit apapun hal yang ada di hadapan kita, kepercayaan pada diri sendiri itu yang paling penting. Percayalah bahwa pelangi itu hadir setelah hujan, bukan sebelumnya.
Give a Nice Comment Here